Wednesday, June 17, 2015

Waiting Pascal’s Law in Big Ben

            Udara pagi ini segar sekali, aku sangat menyukainya. Bunga-bunga bermekaran di setiap tempat, warna-warnanya yang mencolok menjadikan hidup ini lebih berwarna. Ya, saat ini adalah pertengahan musim semi di London, saat yang paling istimewa bagi turis asing yang berlibur di London. Tak kusangka, ternyata hari ini adalah hari ulang tahunku ke tujuh belas, tanggal 17 Maret 2015 tepatnya. Aku segera berganti pakaian dan buru-buru menuju garasi untuk mengambil sepedaku.
            “Vanessa, wait... Where do you go?” tiba-tiba daddy bertanya padaku.
“I just wanna go to Big Ben, Daddy. Just an hour, I promise!” jelasku seraya mencium tangannya.
“Okay, be careful my sweetie.” ucapnya sambil mencium pipiku dan mengacak rambutku yang terurai.
“Bubye Daddy! I love you!” teriakku dari kejauhan. Terdengar balasan setelahya, tapi aku tak tahu pasti apa yang dikatakannya, mungkin ia mengatakan “bye”, “see you”, atau semacamnya. Aku bergegas mengayuh sepeda pink kesayanganku itu menuju Big Ben –menara jam terbesar kedua setelah Makkah Clock Royal Tower. Tepatnya di daerah Westminster, London. Kira-kira berjarak sekitar dua kilometer dari rumah, jika mengendarai sepeda mungkin bisa menempuh tiga puluh menit. Perjalanan menuju Big Ben sangatlah indah ketika musim semi seperti ini, karena kita akan sangat mudah menjumpai bunga bermekaran berbagai jenis dan warnanya. Sepanjang sisi jalan disini dipenuhi bunga, pemandangan yang sungguh indah.
Aku tinggal di London sejak aku balita, daddy asli United Kingdom bisa dibilang british, sedangkan mommy asli Indonesia. Namun, aku lebih mirip dengan daddy. Matanya yang biru, hidungnya yang mancung, lesung pipinya yang dalam, juga alisnya yang tebal semua menurun padaku. Namun, ada satu hal yang tidak mirip. Yaitu rambut, rambut daddy yang blonde itu tidak mirip denganku. Rambutku seperti orang Indonesia, berwarna hitam sempurna. Jadi, terlihat jelas jika aku campuran British-Asian.
Tiga puluh menit pun berlalu, aku sudah sampai di menara jam yang tingginya sekitar 96 meter ini. Banyak orang berlalu lalang disana, hingga sulit untuk menemukan bangku kosong disana.
“Excuse me, can I sit here?” aku bertanya pada seorang perempuan yang usianya kira-kira tidak jauh dariku, dan berusaha mengusirnya secara halus. Oke, bisa dibilang modus.
“Ehm… Okay, no problem. You can sit here, I wanna go there. Bye!” ucapnya ramah dengan senyuman tipis mengembang di sudut wajahnya yang cantik.
“Thank you. Bye!” oke, sekarang aku bisa menempatinya sendirian hingga “Pascal’s Law” tiba. Ya, jika dia benar-benar kembali kesini tahun ini. Aku selalu teringat kejadian lima tahun lalu di tempat ini dan waktu yang sama. Saat itu, aku sedang duduk-duduk di bangku –yang sama dengan yang ku duduki saat ini- sambil menunggu orang tuaku menjemput, aku menikmati cotton candy yang telah kubeli. Tiba-tiba saja ada anak laki-laki seusiaku yang duduk di samping kananku, tanpa mengucap permisi sekalipun. Sungguh tidak sopan pikirku, aku hanya melongo melihat sikapnya yang aneh bin ajaib itu. Dan tak kusangka, beberapa menit kemudian dia mengajakku berbicara.
“H-hi... So-orry for my fault, sit here without ask you.” ucapnya gagap dan menyesal sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
“No, problem. But, why you look like so tired? You’ve been jogging?” tanyaku penasaran sambil bersalaman dengannya.
“No! I had runaway from my Social Club. I didn’t like Social, I loved Science. But, it’s some kind of compulsion. I hate this!”
“I’m sorry for hear that.” ucapku turut bersedih mendengarnya.
“Don’t say sorry! You didn’t made any mistakes.” ucapnya dengan menatapku tajam. Tatapan matanya yang tajam dan dagunya yang tegas cukup jelas jika dia adalah orang yang serius. Kami terdiam beberapa saat hingga dia memulai percakapan lagi.
“Do you know Blaise Pascal?” dia bertanya dan aku hanya mengangguk. “He was a French mathematician, physicist, inventor, and writer. I really like his theory, or people called Pascal’s Law. He was a great philosopher. I learn this theory in my encyclopedia book.” jelasnya sambil menunjukkan bukunya yang super tebal. Tiba-tiba saja ada seseorang memanggilnya dari kejauhan.
“Ben! Let’s go home!” yang aku ingat hanya itu, Ben panggilannya. Tanpa perpisahan, perkenalan, kami pun berpisah. Aku masih menyimpan satu benda darinya, kompas. Ya, kompas itu terjatuh dari tas-nya. Sewaktu mengembalikan ternyata orangnya sudah hilang, lalu aku simpan saja sebagai kenangan.
Dari pertemuan yang singkat itu, aku penasaran dengannya. Hingga aku menunggunya setiap tahun disini. Namun, tak juga kami bertemu lagi. Tak terasa sudah setengah jam aku menunggu dia –Pascal’s Law aku menyebutnya- disini, hingga cotton candy-ku sudah habis, aku masih menyimpan kompas itu dan membawanya saat ini. Aku teringat pada janjiku bahwa aku harus segera pulang, lalu aku pulang tanpa bertemu dengannya.
“Vanessa, Mommy wants to introduce you with my friend’s child from Aussie.” teriak mommy dari dalam rumah, ketika aku masih di garasi.
“Okay, Mom! Wait…” aku segera berlari menuju ruang tamu, dan ternyata “Pascal’s Law” kembali. Ben.


Profil :
I’m Ferly Arvidia, just a little girl who loves writing, science, and music so much. Follow my Twitter and Instagram : @ferly_aa . Thanks a lot
.

0 comments:

Post a Comment